CLSearch #2 : Kedudukan MPR danKetetapannya (Tap MPR)

Constitutional Lawsoc
13 min readMay 4, 2020

--

Disusun oleh: Aditya Halimawan, Alif Duta Hardenta, Annisa N.H., Ardalena Romantika, Megy Febrianisyah, Muhammad Athuur Brotoatmodjo, Silvia Puspitasari, Teuku Ridho Incusy.

Kedudukan MPR danKetetapannya (Tap MPR)

MPR merupakan salah satu lembaga negara dalam sistem tata negara Indonesia yang telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Pengaturan MPR dalam UUD NRI 1945 memberikan implikasi terkait pergeseran sistem tata negara di Indonesia apabila dilaksanakan amandemen terhadap UUD NRI 1945. Saat ini dalam UUD NRI 1945, MPR berkedudukan sejajar atau sederajat dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Hal ini mengakibatkan pembatasan kewenangan bagi MPR. Apabila dilihat secara historis, kedudukan serta kewenangan yang dimiliki oleh MPR berkali-kali mengalami perubahan dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.

Pada awalnya keberadaan MPR dicetuskan dalam sidang kedua BPUPK dimana Muhammad Yamin menyampaikan bahwasanya dalam UUD 1945 yang akan disusun, harus ada sebuah lembaga yang disebut “Majelis Permusyawaratan Untuk Rakyat Indonesia” sebagai kekuasaan yang setinggi-tingginya dalam kekuasaan negara.[1]Karena kedudukannya sebagai wakil dari seluruh rakyat atau penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia, Presiden pun bertanggungjawab kepada Majelis ini.[2] Konsepsi MPR yang dicetuskan Muhammad Yamin ini diterima dan disahkan oleh BPUPKI dalam Oendang-Oendang Dasar (nama yang digunakan pada lembaran negara). Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, terdapat aturan dalam Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 dimana menyatakan untuk menghindarkan kekosongan kekuasaan sebelum pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, dibentuk sebuah komite nasional yang dijalankan oleh presiden.[3] Komite Nasional ini dianggap sebagai awal dari keberadaan MPR seperti saat ini.

Pada era Konstitusi RIS, MPR tidak terbentuk karena digantinya UUD 1945 dengan Konstitusi RIS. Oleh karena itu, dalam Konstitusi RIS tidak terdapat pengaturan mengenai MPR. Namun, terdapat lembaga yaitu Konstituante (Sidang Pembuat Konstitusi).[4] Konstituante merupakan lembaga dengan kewenangan dan kedudukan yang sama dengan MPR dalam menetapkan konstitusi. Selain itu Konstituante diberikan kewenangan oleh Konstitusi RIS untuk menetapkan Konstitusi yang akan menggantikan Konstitusi RIS yang bersifat sementara. Konstitusi RIS 1949 tidak berlaku efektif dan digantikan dengan UUDS 1950. Akibat dari perubahan dimana keberadaan Konstitusi RIS yang digantikan oleh UUDS 1950, maka Konstituante tetap ada, namun tidak diatur dalam UUDS 1950. Sehingga sebagai pengganti kedudukan MPR, maka dibentuk Lembaga Konstituante untuk menjalankan fungsi pembentukan Undang-Undang Dasar.[5]

Setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka pemerintah menerapkan kembali UUD 1945 yang dilakukan perubahan secara inkonstitusional (verfassungwandrung). Akibat kebijakan yang dilakukan Presiden Soekarno, terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Keberlakuan MPRS juga dilanjutkan oleh pemerintahan Orde Baru yang juga “mempromosikan” kedudukan MPRS menjadi MPR.[6] Adapun kedudukan MPR sebelum amandemen UUD 1945 adalah MPR berkedudukan dan berfungsi sebagai lembaga tertinggi yang memiliki kekuasaan tertinggi daripada lembaga negara lain, atau dalam ketatanegaraan lembaga negara Indonesia pada saat itu menganut distribution of power. Adapun kedudukan ini berkaitan dengan sejumlah kewenangan dari MPR yaitu:[7]

  1. MPR berwenang menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar dari haluan negara (Pasal 3 UUD 1945)
  2. Memilih Presiden dan Wakil Presiden dengan mekanisme suara terbanyak (Pasal 6 ayat (2) UUD 1945)
  3. Mengubah Undang-Undang Dasar dengan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota MPR harus hadir. Putusan diambil dengan persetujuan sekurnag-kurangnya 2/3 daripada jumlah yang hadir (Pasal 37 UUD 1945)

Dalam praktiknya untuk menjalankan kewenangan-kewenangan tersebut MPR mengerluarkan ketetapan yang sifatnya mengatur secara internal dan eksternal. Dalam sejarah konstitusi di Indonesia, bentuk produk hukum MPR berupa ketetapan MPR/S (TAP MPR/S) mulai dikenal sejak dikeluarkannya Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik RI sebagai Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara. Pada tahun 1966, MPRS[8] menerbitkan Ketetapan MPRS No. XX tahun 1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan TataUrutan Perundang-Undangan RI, yang menempatkan Ketetapan MPRS sebagai salah satu sumber hukum dalam tata urusan tersebut. Dengan demikian, sejak tahun 1966 keberadaan Ketetapan MPRS sebagai sumber hukum telah diakui dalam sistem hukum Indonesia.[9] Menurut Bagir Manan, Tap MPR ini sebagai bentuk peraturan perundang-undangan yang tidak diatur dalam UUD melainkan sebagai bentuk praktik ketatanegaraan yang dilakukan secara berkelanjutan sejak 1960.

Tap MPR yang ada selama ini tidak memenuhi syarat sebagai peraturan perundang-undangan (wettelijk regels) karena sifatnya yang tidak jelas yaitu terdapat yang bersifat mengatur maupun berupa putusan konkret dan individual yang seharusnya dengan bentuk Keputusan MPR.[10] Berdasarkan Pasal 91 Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI, mekanisme penyusunan/pengundangan Ketetapan MPR yaitu pembuatan putusan-putusan majelis dilakukan melalui 4 (empat) tingkat pembicaraan keciali untuk laporan pertanggungjawaban Presiden dan hal-hal lain yang dianggap perlu oleh Majelis.[11] Keempat tingkat pembicaraan tersebut dimulai dari Pembicaraan Tingkat I yang membahas mengenai bahan-bahan yang masuk dan dari bahan tersebut akan menjadi Rancangan Ketetapan/Keputusan MPR sampai dengan Pembicaraan Tingkat IV yaitu pengambilan putusan oleh Paripurna Majelis.

Setelah adanya reformasi pada tahun 1998 dan memaksa MPR untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945 dalam empat tahap (1999 sampai dengan 2002), berlakulah aturan dalam UUD NRI 1945 yang merupakan Undang-Undang Dasar pasca-amandemen. Dalam amandemen tersebut, terdapat sejumlah perubahan pasal yang berkaitan dengan MPR yang berubah. Perubahan yang memberikan implikasi pada MPR adalah perubahan pada Pasal 1 ayat (2) yang mengubah kedudukan MPR menjadi lembaga negara yang sederajat dan sejajar dalam hal kedudukan dengan lembaga negara lain seperti Lembaga Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK. Keberadaan perubahan ini juga memberikan pengurangan kewenangan bagi MPR seperti MPR tidak lagi berwenang memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, menetapkan garis-garis besar haluan negara, dan mengeluarkan Ketetapan MPR yang sifatnya mengatur.[12]Oleh karena itu, keberadaan MPR dengan kedudukan seperti ini menerapkan bahwasanya ketatanegaraan lembaga negara di Indonesia menganut sistem separation of power dengan sistem check and balances. Adapun menurut pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen, kewenangan MPR yaitu:[13]

  1. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar
  2. Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden
  3. Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.

Terhadap perubahan-perubahan tersebut yang membuat MPR tidak menjadi lembaga tertinggi dan berwenang menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara, MPR kemudian melakukan peninjauan untuk memberikan kejelasan mengenai kedudukan Ketetapan MPR/S yang telah ada selama ini. Hasil peninjauan oleh MPR dituangkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan 2002. Hasil peninjauan MPR tersebut menggolongkan Ketetapan MPR/S ke dalam enam kelompok yang masing-masing dijelaskan dalam pasal-pasal berikut:[14]

1) Pasal 1, Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, ada delapan Ketetapan;

2) Pasal 2, Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan, ada tigaKetetapan;

3) Pasal 3, Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004, ada delapan Ketetapan;

4) Pasal 4, Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang, ada sebelas Ketetapan;

5) Pasal 5, Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya peraturan tata tertib baru oleh MPR hasil pemilu 2004;

6) Pasal 6, Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebihlanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan, ada 104 Ketetapan.

Quo Vadis Tap MPR dalam Peraturan Perundang-Undangan

Saat ini Tap MPR yang masih berlaku sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (1) huruf b UU 12/2011 yaitu sebanyak 6 Ketetapan. Meskipun menimbulkan pertanyaan mengapa Tap MPR yang jumlahnya hanya 6 tersebut masuk dalam hierarki? Hal ini tergantung pada legal policy pembentuk Undang-Undang. Namun apa yang menjadi implikasi keberadaan Tap MPR tersebut khususnya terhadap peraturan perundang-undangan yang ada dibawahnya? Salah satu potensinya yaitu adanya inkonstitusional terhadap konstitusi yaitu UUD NRI 1945. Beberapa pertentangan tersebut diantaranya:

Pertama, menurut Dian Agung Wicaksono, Pasal 22A UUD NRI 1945 yang mengamanatkan tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang. Hal ini juga mengatur bahwa materi yang diatur dalam undang-undang merupakan ketentuan lebih lanjut UUD NRI 1945. Maka dengan pendekatan tersebut kedudukan Tap MPR di bawah UUD yang masih berlaku terderogasi dengan norma organik sebagai pengaturan lanjut dari Konstitusi.

Kedua, setelah amendemen yang tidak lagi memberikan kewenangan Tap MPR menjelaskan lebih lanjut mengenai konstitusi, tetapi karena keberadaannya dalam hierarki membuat peraturan perundang-undangan di bawah Tap MPR tidak dapat bertentangan dengan Tap MPR, namun yang menjadi pertanyaan adalah “apakah Tap MPR sudah barang tentu tidak bertentangan dengan konstitusi?”

Ketiga, dalam Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945 yang membatasi mengenai Hak Asasi Manusia hanya diatur dengan undang-undang, namun dengan adanya Tap MPR Nomor 1 Tahun 2003 yang mengatur bahwa Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Paham Atau Ajaran Komunis/Marxisme-Lenisme. Hal ini terlihat jelas membatasi hak asasi manusia, namun secara legal formal seharusnya diatur dalam undang-undang. Meskipun yang Tap MPR tersebut dimaksudkan untuk mengatur, dalam faktanya terdapat unsur Individual sebagaimana ciri-ciri dari suatu ketetapan yaitu Pembubaran Partai Komunis. Hal ini sebagai bentuk produk hukum yaitu legislasi semua (beleidsregels atau pseudo-wetgeving). Selain itu jika kita melihat pembatasan terhadap ajaran-ajaran yang bersifat forum internum berupa hak kemerdekaan pikiran dan hati Nurani yang merupakan hak yang tidak dapat diganggu gugat (non-derogable right). Hal ini merupakan suatu inkonsistensi pengaturan atau suatu pembatasan yang fundamental.

Keempat, untuk menghadapi potensi pertentangan antara Tap MPR dengan UUD NRI 1945 maka diperlukan suatu reformasi yang dapat ditempuh jika pertentangan tersebut terjadi. Sebagai bentuk pengawasan terhadap produk peraturan perundang-undangan untuk melindungan kepentingan warga negara maka apakah Tap MPR dapat diuji dan apakah dapat dijadikan sebagai batu uji? Dalam konteks Tap MPR yang berada dalam hierarki peraturan perundang-undangan, tidak terdapat mekanisme mekanisme pengujian Tap MPR. Hal ini disebut sebagai terra incognita, yaitu sebagai wilayah yang tak bertuan karena tidak terdapat Lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan pengujian Tap MPR. Namun atas terra incognita tersebut, terdapat 4 (empat) pendapat diantaranya:[15]

1. Tap MPR Tidak Perlu Diuji Karena Sudah Diuji

Dengan perspektif legisme, Tap MPR sejatinya telah mengalami pengujian dalam Tap MPR Nomor I/MPR/2003 yang dinyatakan masih berlaku berarti telah sesuai secara materi muatan dengan konstitusi, sehingga tidak perlu lagi dipersoalkan.[16] Sehingga tidak mungkin ada pertentangan atau kerugian konstitusional yang disebabkan oleh Tap MPR karena Tap MPR sudah diuji materi muatan dan status hukumnya oleh MPR sebagai lembaga negara yangmemiliki kewenangan.[17] Namun antitesis pendapat ini yaitu sebenarnya yang memiliki kewenangan pengujian adalah Lembaga yang melakukan constitutional review untuk meninjau apakah konstitusional atau tidak. Ketika ini diberikan kepada MPR maka pendekatan yang akan digunakan cenderung kepada original intent dari UUD NRI 1945 dan Tap MPR tersebut. Namun karena alasan praktis, maka dilakukanlah melalui Pasal I Aturan Tambahan UUD NRI 1945.

2. Tap MPR Tidak Dapat Diuji

Dengan pandangan yang lebih terbuka yaitu adanya pertentangan Tap MPR dengan konstitusi dan juga pembatasan terhadap hak warga negara, meskipun pandangan ini tidak memberikan solusi atas ketiadaan mekanisme pengujian Tap MPR.[18] Pandangan ini berpijak pada asas a contrario actus, bahwa yang berlaku universal dalam ilmu hukum, pembatalan suatu tindakan hukum harus dilakukan menurut cara dan oleh badan yang sama dalam pembentukannya yaitu MPR.[19] Namun permasalahannya yaitu konstitusi tidak memberikan MPR kewenangan untuk menguji Tap MPR.[20] Selain itu, berdasarkan asas a contrario actus pula, Tap MPR hanya dapat dicabut dengan tindakan hukum yang sama dengan pembentukannya.[21] Dengan kata lain Tap MPR harus dicabut oleh produk hukum yang sama, yaitu dengan Tap MPR pula. Sedangkan kelembagaan MPR sudah tidak lagi mempunyaikewenangan untuk mengeluarkan Tap MPR yang bersifat regeling. Maka dari itu, Tap MPR tidak dapat diuji oleh lembaga negara manapun.[22]

3. Tap MPR Diuji dengan Legislative Review oleh majelis Permusyawaratan Rakyat

Pandangan ini adalah pengembangan dari asas a contrario actus, karena menafikan produk hukum yang digunakan untuk melakukan pencabutan.[23] Pandangan hanya bersikukuh bahwa Tap MPR sebagai produk MPR haruslah diuji dan dicabut oleh MPR sendiri ketika memang tidak ada mekanisme pengujian oleh lembaga negara yang lain.[24] Sedangkan, produk hukum pencabutan cukup menggunakan keputusan Sidang MPR misalnya, seperti halnya pengesahan amandemen UUD yang ditetapkan MPR melalui Keputusan Sidang MPR.[25] Namun jika kita melihat ciri-ciri keputusan tersebut hanya bersifat mengikat ke dalam (interne regelingen).

4. Tap MPR Diuji oleh Mahkamah Konstitusi

Pandangan ini dapat dilakukan dalam negara hukum Indonesia, mengingat terdapat putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Niet Onvankelijkverklaard (NO) dalam perkara permohonan pengujian Perppu terhadap UUD.[26]Walaupun putusan menyatakan NO, tetapi sebenarnya Mahkamah Konstitusi pada posisi membenarkan adanyakewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji Perppu terhadap UUD.[27] Secara argumentum a contrario dapat dipahami bahwa jika pemohon memiliki legal standing maka Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menguji Perppu terhadap UUD. Meskipun tidak secara letterlijk dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, namun Mahkamah Konstitusi melakukan penemuan hukum (rechtvindings) dalam rangka mengisi kekosongan hukum.[28] Kemudian secara argumentum per analogiam, Perppu yang tidak disebutkan secara eksplisit saja dapat dilakukan pengujian, seharusnya Tap MPR yang meskipun tidak diatur secara letterlijk juga dapat dilakukan pengujian.[29] Namun, antitesis dari pendapat ini adalah, apakah dalam konteks ilmu perundang-undangan Tap MPR setara dengan undang-undang sehingga dapat disamakan. Lalu bagaimana dengan perbedaanya dengan UUD NRI 1945? Jika kita lihat menurut ilmu perundang-undangan, Tap MPR mengatur hal-hal umum sebagai penjabaran dari konstitusi sehingga keduanya sama sebagai Staatgrundgezets, namun tetap kedudukan Tap MPR dibawah UUD.[30]

Apakah MPR dapat mengeluarkan Tap MPR yang sifatnya mengatur secara eksternal kembali?

Untuk mengidentifikasi alasan bisa atau tidak MPR mengeluarkan TAP MPR perlu ditelaah lebih dulu TAP MPR itu termasuk kegiatan pengambilan keputusan yang mana. Menurut Jimly Asshiddiqie dalam “Perihal Undang-Undang”, terdapat tiga jenis kegiatan pengambilan keputusan yang dapat dilakukan oleh pemerintah yakni peraturan (regelling), keputusan atau ketetapan (beschikkings), dan tetapan (vonnis).[31] Berdasarkan Guru Besar Emiritus bidang Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Alm. Prof. Ismail Suny, MPR mengandung prinsip legal power yang berati memiliki kemampuan secara hukum untuk menetapkan peraturan[32] dalam rangka pengambilan keputusan. Oleh karena itu, TAP MPRS/MPR yang dikeluarkan MPR meliputi regelling. Lebih dari itu, TAP MPRS/MPR juga dapat berupa mengatur dan memberi tugas kepada presiden, beschikking, mengatur ke dalam interne regelingen), deklaratif, atau memberi rekomendasi.[33]

Dengan dikeluarkannya TAP MPR No.I/MPR/2003 membuat sejumlah TAP MPR/MPRS yang digolongkan menjadi 6 kategori sebagaimana termuat dalam Pasal 1 sampai Pasal 6, ada yang tetap diberlakukan, dicabut atau ditunda keberlakuannya hingga diatur lebih lanjut dll.[34] Dari 6 Pasal tersebut peraturan a quo, menurut Muchamad Ali Safa’at, TAP MPR yang bersifat regelling atau bersifat mengatur ada yang dicabut atau ditunda hingga diatur oleh peraturan perundang-undangan lebih lanjut.[35] Sejak dikeluarkannya peraturan a quo, menandai hilangnya Tap MPR dari tatanan hierarki perundang-undangan yang diatur dalam Undang Undang №10 Tahun 2004.

Oleh karena itu TAP MPR yang bersifat regelling telah ‘hilang’ karena ada yang telah dicabut, dan ada juga yang keberlakuannya ditunda yang kedepannya akan diatur lebih lanjut dan diserap di dalam rumusan undang-undang yang lebih lanjut. Di sisi lain TAP MPR yang bersifat beschikking masih bisa dikeluarkan oleh MPR. Namun, menurut pendapat Mantan Ketua MK Hamdan Zoelva masih terdapat TAP MPR masih dapat diterbitkan dengan syarat TAP MPR yang diterbitkan tersebut bersifat beschikking, seperti jika dibutuhkannya penetapan pada saat terjadinya pemakzulan presiden.[36] Yang perlu kita ketahui adalah beschikking merupakan produk keputusan administratif yang sifatnya individual dan konkret.[37]

Dengan adanya Pasal 3 UUD NRI Tahun 1945 menunjukkan bahwa masih ada kewenangan MPR untuk mengeluarkan TAP MPR yang bersifat beschikking, ambil contoh memberhentikan Presiden yang diatur menurut UUD 1945 seperti Pemakzulan. Namun dengan diundangkannya UU №12 tahun 2011, TAP MPR yang bersifat regelling seakan-akan dihidupkan kembali dalam peraturan perundang-undangan kembali.Dengan dirumuskannya UU Nomor 12 Tahun 2011 ini sebenarnya diperuntukkan untuk memperkuat kedudukan TAP MPR yang masih berlaku dan sifatnya beschikking. Untuk TAP MPR yang bersifat regelling tidak dapat diterbitkan kembali karena sejatinya menurut TAP MPR No. I/MPR/2003 pasal-pasal yang bersifat regelling sudah dicabut dan untuk pasal yang ditangguhkan akan diatur lebih lanjut dalam produk hukum undang-undang. Dengan itu kewenangan TAP MPR dalam menerbitkan TAP MPR yang bersifat regelling telah dicabut oleh TAP MPR No. I/MPR/2003. Sementara TAP MPR yang bersifat beschikking masih berlaku sebagaimana dipertahankan TAP MPR No. I/MPR/2003 masih dapat diterbitkan sebagaimana Pasal 3 UUD 1945.

Menurut Ni’matul Huda, saat ini MPR dapat mengeluarkan produk hukum penetapan berupa: penetapan dalam rangka pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, penetapan Wakil Presiden apabila Presiden mangkat, penetapan dalam rangka memilih Wakil Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan, penetapan dalam rangka memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat lagi melakukan kewajibannya dalam masa jabatan.[38] Lebih lanjut, menurut Zainal Arifin Moctar, jika terdapat keinginan mengembalikan kewenangan MPR mengeluarkan Tap MPR yang bersifat mengatur maka sebaiknya kita harus melihat kondisi yang ada, dimana kita menganut sistem pemerintahan presidensial.[39] Apabila kita mengembalikan kewenangan tersebut maka secara mutatis mutandis akan membuat struktur ketatanegaraan menjadi parliamentery-heavy[40] yang sejalan dengan sistem pemerintahan parlementer, bukan presidensial.

[1]Sekretariat Negara RI, 1998, Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, 28 Mei 1945–22 Agustus 1945, Sekretariat Negara RI: Jakarta, hlm. 201–202

[2] Ibid. hlm. 249–252.

[3] Ibid. hlm. 293

[4] Pasal 186 Konstitusi RIS 1949

[5] Pasal 134 Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950

[6] Bagir Manan, 2003, DPR, DPD, dan MPR dlam Undang-Undang Dasar 1945, FH UII Press, Yogyakarta, hlm. 60.

[7] Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

[8] Pada saat negara Indonesia berbentuk negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat. Oleh karena itu MPR juga bernama MPRS.

[9] R. Nazriyah, Status Hukum Ketetapan MPR/S Setelah Perubahan UUD 1945, Jurnal Hukum, Vol. 12, №28, Januari 2005, hlm. 28.

[10] Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyarakta: 2003, hal. 218–219

[11] Vide Pasal 91ayat (1) Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI

[12]Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia, 2013, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undnag Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Sekretariat MPR RI, Jakarta, hlm. 74.

[13]Vide Pasal 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

[14]Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan 2002

[15] Dian Agung Wicaksono,“Implikasi Re-eksistensi Tap MPR dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Terhadap Jaminan Atas Kepastian Hukum yang Adil di Indonesia”, artikel dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 10 №1, Maret 2013, hlm. 168.

[16] Ibid, hlm.171.

[17] Ibid, hlm.172.

[18] Ibid.

[19] Ibid.

[20] Ibid.

[21] Ibid.

[22] Ibid.

[23] Ibid.

[24] Ibid.

[25] Ibid.

[26] Ibid, hlm.173.

[27] Ibid, hlm. 173.

[28] Ibid.

[29] Ibid.

[30] Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta.

[31] Jimly Asshiddiqie, et al., 2006, Perihal Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press, hlm. 10

[32] Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Aksara Baru, 1978), hlm. 16.

[33] Hukum Online, Mereposisi Status TAP MPR Dalam Sistem Hukum Indonesia, 2018, <https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b7802cb9fcf1/mereposisi-status-tap-mpr-dalam-sistem-hukum-indonesia/>, diakses 21 April 2020

[34] Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, TAP MPR No. I/MPR/2003.

[35] Muchamad Ali Safa’at, 2013, Kedudukan Ketetapan MPR dalam SIstem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, http://safaat.lecture.ub.ac.id/2013/02/kedudukan-ketetapan-mpr/, hlm. 4

[36] RMOL.ID, 2018, MPR Bisa Mengeluarkan Tap Penetapan Presiden Dan Wapres Terpilih, <https://rmol.id/read/2018/08/18/353028/mpr-bisa-mengeluarkan-tap-penetapan-presiden-dan-wapres-terpilih>, Diakses 21 April 2020

[37] Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 10.

[38] Lihat Pasal-Pasal dalam UUD NRI 1945 mengenai Presiden dan Wakil Presiden. Richo Andi Wibowo, dkk, Yogyakarta, Penataan Kewenangan dan Tugas MPR RI, Desember 2019, hlm 66.

[39] Ibid.

[40] Ibid.

--

--

Constitutional Lawsoc

We are Constitutional Law Society who is work for constitutional law. We are in Yogyakarta, Faculty of Law Gadjah Mada University.